Bencana (disaster)
merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger),
ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama
secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada
komunitas (BNPB, 2005 : 10)
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui
sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena
bencana baru akan terjadi bila ’bahaya’ terjadi pada ’kondisi yang rentan’,
seperti yang dikemukan Awatona (1997 : 1-2)”.........Natural disasters are
the interaction between natural hazards and vulnerable condition”. Tingkat
kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial
kependudukan, dan ekonomi.
Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, dilihat dari waktu terjadinya ancaman dapat muncul
secara tiba-tiba dan tidak terduga (shocks); ancaman berangsur, terduga
dan dapat dicermati (trends); serta ancaman musiman yang datang setiap
periode waktu tertentu (seasonality). Ancaman yang muncul secara
tiba-tiba akan menimbulkan bencana tiba-tiba (missal tumpahan limbah, kebocoran
nuklir); ancaman yang berangsur dan musiman akan menyebabkan bencana yang
berangsur (banjir kiriman, kekeringan,degradasi lingkungan akibat polusi,
pestisida dan pupuk kimia) dan musiman (gerakan tanah/tanah longsor,
kekeringan, banjir pasang surut, banjir hujan).
Selanjutnya status ancaman ini
sangat tergantung dari kapasitas individu maupun komunitas dalam menguasai
sistem peringatan dini (early warning system). Artinya, ancaman yang
dimaknai shocks oleh satu individu atau komunitas, merupakan trends untuk
individu atau komunitas lain yang mempunyai sistem peringatan dini yang lebih
baik. Sebaliknya, ancaman yang dimaknai trends oleh satu individu atau
komunitas, merupakan shocks untuk individu atau komunitas lain yang
mempunyai sistem peringatan dini yang buruk. Ancaman gerakan tanah/tanah
longsor akan dipahami sebagai sesuatu yang mendadak oleh masyarakat yang tidak
memahami penanggulangan bencana, tetapi akan dipahami sebagai sesuatu yang
berangsur oleh masyarakat yang paham penanggulangan bencana.
Seterusnya, bencana akan
mereduksi kapasitas komunitas dalam menguasai maupun mengakses aset penghidupan
(livelihoodassets). Dibeberapa peristiwa bencana seluruh kapasitas dan
aset tersebut hilang sama sekali. Reduksi kapasitas itu pula yang memungkinkan
bencana cenderung akan hadir berulang disuatu kawasan dan komunitas. Menurut
konsep sustainable livelihood ada lima aset penghidupan yang dimiliki
oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi didalam upayanya
mengembangkan kehidupannya yaitu: (1) humanecapital, yakni modal yang
dimiliki manusia; (2) social capital, adalah kekayaan sosial yang
dimiliki komunitas; (3) natural capital : adalah persediaan sumber daya
alam; (4) physical capital adalah infrastruktur dasar dan memproduksi
barang–barang yang dibutuhkan; serta (5) financial capital, yaitu
sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai
tujuan-tujuan kehidupannya.
Menurut sosiolog Prof. Dr. Heru
Nugroho (2008:24), setiap individu, komunitas maupun unit sosial yang lebih
besar mengembangkan kapasitas sistem penyesuaian dalam merespons ancaman.
Renspons itu bersifat jangka pendek yang disebut mekanisme penyesuaian (coping
mechanism) atau yang lebih jangka panjang yang dikenal sebagai mekanisme
adaptasi (adaptatif mechanism).
Mekanisme dalam menghadapi
perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses kebutuhan
hidup dasar: keamanam, sandang, pangan, sedangkan jangka panjang bertujuan
untuk memperkuat sumber–sumber kehidupannya. Prinsip kehati-hatian dimulai dari
mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap
keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan-lahan
maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan.
Kejadian ini terjadi di luar
kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumber-dayanya. Berkenaan dengan hal
tersebut maka perlu dipahami potensi risiko yang mungkin muncul, yaitu besarnya
kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian
ekonomi) yang disebabkan oleh ancaman tertentu di suatu daerah pada suatu waktu
tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas
dari dampak atau konsekuensi suatu ancaman. Jika potensi risiko pada
pelaksanaan kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati–hatian
perlu dilipat-gandakan. Upaya mengurangi kerentanan (vulnerability) yang
melekat, yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi
(fisik, sosial,ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya: menebang,
penambangan batu, membakar.
Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, siklus penanggulangan bencana yang perlu dilakukan
secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) terhadap munculnya dampak
adalah perlakuan utama. Untuk mencegah banjir maka perlu mendorong usaha
masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah penebangan. Agar
tidak terjadi jebolnya tanggul, maka perlu disusun save procedure dan
kontrol terhadap kepatuhan perlakuan.
Walaupun pencegahan sudah
dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan
upaya-upaya mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan
dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi, yaitu mitigasi
struktural berupa pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak, serta
mitigasi non struktural berupa penyusuan peraturan-peraturan, pengelolaan tata
ruang dan pelatihan. Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiap
siagaan (preparedness), yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi
bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap
siaga. Misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi
evakuasi.
Di dalam usaha
kesiapsiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini (earlywarning
system), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan
akan segera terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan
menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan kandungan unsure yang
tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber ancaman.
Pemberian peringatan dini harus
(1) menjangkau dan dipahami masyarakat (accesible), (2) segera (immediate),
(3) tidak membingungkan (coherent), dan (4) bersifat resmi (official).
Pada akhirnya jika bencana dari sumber ancaman terpaksa harus terjadi, maka
tindakan tanggap darurat (response), yaitu upaya yang dilakukan segera
pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dan
mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta
benda.
Secara sinergis juga diperlukan
bantuan darurat (relief), yaitu upaya memberikan bantuan berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa: pangan, sandang, tempat tinggal
sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Agar dampak tidak berkepanjangan
maka proses pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan masyarakat yang
terkena dampak/bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada
keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki prasarana dan
pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll) tetapi
termasuk fungsi-fungsi ekologis.
Upaya tersebut, dalam jangka
pendek umumnya terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation), yaitu
upaya untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan
fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi
ekologis setelah bencana terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini
hanya melakukan tindakan fisik ini, yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi
fungsi ekologis. Selanjutnya rekonstruksi (reconstruction) merupakan
upaya jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan
ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau
lebih baik dari sebelumnya.
0 comments:
Post a Comment