Monday, December 16, 2019

PERAN DAN INISIATIF BANK INDONESIA DALAM MENDUKUNG INOVASI DI SEKTOR FINTECH


PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang pesat serta didukung oleh infrastruktur komunikasi yang semakin kuat dan stabil telah membawa dampak baru terhadap masyarakat, yakni hadirnya gadget dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari sebelumnya yang memungkinkan kita mengakses internet dengan biaya yang lebih murah. Inovasi yang bermunculan tidak berhenti hanya sampai di situ. Internet telah membawa kita ke sebuah era dimana semua kegiatan lebih cepat, akurat, disertai murahnya biaya pengaksesan dibandingkan era-era sebelumnya.
Penguatan infrastruktur teknologi pun juga membawa kita ke era baru, yakni era digitalisasi. Dengan adanya digitalisasi, dimana hampir semua data yang kita butuhkan berada di internet, sehingga kita pun mampu melakukan segala aktivitas dengan cepat, akurat, dan mudah. Selain kemampuan teknologi yang makin mumpuni untuk melakukan aktivitas yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia, teknologi juga merombak cara kita melakukan berbagai aktivitas serta cara kita melakukan pekerjaan dan bisnis.
Inilah era big data, era disruptif yang membawa kita ke era baru, era dimana semua hal hampir terdigitalisasi. Di era ini segala hal dituntut cepat, akurat, dan efisien. Adanya inovasi ini, tak hanya melibatkan pemilik modal besar. Melainkan rakyat pun bisa berpartisipasi dengan modal yang sangat minimal. Dalam era ini, dikenalkan konsep sharing-economy. Dimana pemilik modal dan rakyat berkolaborasi untuk menciptakan layanan jasa dan produksi yang lebih murah, mudah, dan efisien.
Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan inovasi dalam teknologi informasi “internet of things” memberikan dampak yang luas bagi perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perkembangan ini mampu menciptakan sebuah model bisnis dan pelaku ekonomi baru yang sangat dinamis, sehingga mampu menggeser praktik-praktik ekonomi tradisional yang eksis sebelumnya. Perkembangan ekonomi digital dan Fintech di Indonesia tumbuh dengan sangat cepat didorong permintaan lokal yang sangat besar serta pemain-pemain lokal yang baru.
Perkembangan ekonomi digital dan Fintech yang pesat tentu harus diimbangi dengan instrument dan strategi kebijakan yang tepat agar mampu memberikan multiplier yang luas, khususnya bagi pengembangan bisnis-bisnis lokal (UMKM). Hal inilah yang menjadi bahasan kali ini, khususnya dalam menakar Peran Bank Indonesia dalam mendorong perkembangan Ekonomi Digital dan Fintech khususnya dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh World Bank, Jumlah populasi Indonesia mencapai 261,12 juta jiwa dengan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 5% pertahun. Pertumbuhan GDP tersebut terjadi seiring dengan pertumbuhan sektor perbankan sebesar 48,9% dan pinjaman yang dilakukan oleh masyarakat paada institusi/lembaga keuangan sebesar 17,2%.Terkait dengan penggunaan sosial media dalam kehidupan sehari-hari, Indonesia memiliki penetrasi sebesar 40% atau sekitar 130 juta penduduk yang aktif menggunakan sosial media dengan total mobile subscription sebesar 415,7 juta.
Penggunaan sosial media tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya jaringan atau koneksi internet yang memadai. Internet merupakan salah satu bentuk perkembangan IT yang mana saat ini dimanfaatkan oleh hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan tingkat penetrasi internet di Indonesia begitu besar yakni 51% atau 143,2 juta yang terbagi kedalam 2 (dua) macam media yang digunakan yani Desktop (30%) dan Mobile (70%). Besarnya penetrasi penggunaan internet melalui media mobile tersebut dilatarbelakangi oleh tumbuh dan berkembangnya smartphone yang memiliki berbagi fitur.

PEMBAHASAN
Perkembangan Ekonomi Digital dan Financial Technology (Fintech)
Berdasarkan data yang dilansir oleh World Bank, Jumlah populasi Indonesia mencapai 261,12 juta jiwa dengan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 5% pertahun. Pertumbuhan GDP tersebut terjadi seiring dengan pertumbuhan sektor perbankan sebesar 48,9% dan pinjaman yang dilakukan oleh masyarakat paada institusi/lembaga keuangan sebesar 17,2%.
Terkait dengan penggunaan sosial media dalam kehidupan sehari-hari, Indonesia memiliki penetrasi sebesar 40% atau sekitar 130 juta penduduk yang aktif menggunakan sosial media dengan total mobile subscription sebesar 415,7 juta. Penggunaan sosial media tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya jaringan atau koneksi internet yang memadai. Internet merupakan salah satu bentuk perkembangan IT yang mana saat ini dimanfaatkan oleh hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Hal tersebutlah yang kemudian menjadikan tingkat penetrasi internet di Indonesia begitu besar yakni 51% atau 143,2 juta yang terbagi kedalam 2 (dua) macam media yang digunakan yani Desktop (30%) dan Mobile (70%). Besarnya penetrasi penggunaan internet melalui media mobile tersebut dilatarbelakangi oleh tumbuh dan berkembangnya smartphone yang memiliki berbagi fitur.
Kemudahan yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet saat ini sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik itu terhadap aspek budaya, aspek sosial, pendidikan sampai kepada aspek ekonomi. Sampai kemudian lahir media baru sebagai media massa modern atau sosial media. Tingginya intensitas penggunaan internet oleh masyarakat dalam mengakses info-info terupdate menjadikan mereka tidak dapat terlepas dari aktivitas berselancar di dunia maya / online.
Data menunjukkan bahwa 3 (tiga) kegiatan dengan intensitas penggunaan internet / online everywhere terbanyak adalah 69% masyarakat tetap online pada saat mereka sedang beristirahat, 35% lainnya menggunakan internet ketika sedang menunggu, dan 29% ketika sedang menonton TV. Sedangkan beberapa kegiatan lainnya diantaranya yakni, menghabiskan waktu bersama keluarga (17%), while commuting (14%), Rapat/kelas (6%), Dikamar mandi (6%), social event dan shopping (5%).
Salah satu pemanfaatan atau penggunaan internet terbesar adalah dalam bidang ekonomi/perdagangan. Di Indonesia sendiri, penggunaan internet dalam perdagangan e commerce khususnya retail mengalami peningkatan setiap tahunnya terhitung dari tahun 2016-2017 yang mana secara tidak langsung meningkatkan nilai perdagangan. Dari tahun 2017, nilai e commerce retail mengalami kenaikan sebesar US$ 1535m, dari US$7056m pada tahun 2017, menjadi US$ 8591m pada tahun 2018 yang mana akan diproyeksikan mengalami kenaikan yang cukup signifikan sampai dengan tahun 2022 yakni sebesar US$ 16475m. Terjadinya peningkatan tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh semakin banyaknya online shop yang menawarkan kemudahan yang dibarengi juga dengan promo-promo menarik bagi pembeli/konsumen.
Pendapatan dari transaksi pasar e commerce pada tahun 2018 berkisar US$ 9,138m. Pendapatan tersebut harapkan mampu menunjukkan atau menggambarkan kondisi tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR 2018-2022) dari 16,6%, memperkirakan menghasilkan volume pasar pada tahun 2022 sebesar US$ 16,865m. Segmen pasar terbesar adalah pada bidang fashion dengan volume pasar sebesar US$ 3,052m di tahun 2018. Penetrasi penggunaan sebesar 40,0% di tahun 2018 dan diperkirakan akan mencapai 48,3% di tahun 2022. Rata-rata pendapatan per user (ARPU) berkisar US$ 85.43.
Besarnya nilai pendapatan yang diperoleh dari penjualan e commerce tidak akan dapat dicapai tanpa adanya peran konsumen atau pembeli. Masyarakat yang dapat dengan mudah mengakses e-commerce melalui jaringan internet yang ada di smartphone mereka secara tidak langsung akan meningkatkan nilai perdagangan. Tahun 2018, jumlah digital buyers di Indonesia mencapai 31,6 juta dan diproyeksikan akan mengalami peningkatan setiap tahunnya sampai dengan tahun 2022 sebesar 43,9 juta digital buyers.
Inclusive Internet Index merupakan salah satu program yang dirancang oleh Facebook dan bekerja sama dengan The Economist Intelligence Unit. Tujuan dari Inclusive Internet Index adalah berusaha untuk mengukur sejauh mana internet tidak hanya dapat diakses dan dijangkau, akan tetapi juga "relevan untuk semua, memungkinkan penggunaan yang dapat memberikan hasil atau dampak positif pada bidang sosial dan ekonomi baik pada level individu ataupun grup”. Indeks tersebut terdiri dari 46 indikator untuk masingmasing Negara dari 75 negara tersebut yang diatur dalam empat kategori:
1.     Ketersediaan,
2.     Keterjangkauan,
3.     Relevansi, dan
4.     Kesiapan
Fintech, merupakan salah satu terobosan baru dalam dunia keuangan digital yang baru-baru ini dikenalkan di Indonesia. Penggunaan Fintech yang belum begitu banyak gunakan oleh masyarakat Indonesia serta kurangnya literasi masyarakat akan fintech menjadikan Indonesia belum mampu menjadi salah satu Negara yang masuk pada peringkat 20 besar negara Asia Pasifik yang memiliki tingkat telah mengadopsi fintech dan memiliki pertumbuhan yang begitu pesat. Untuk saat ini, the leading companies dalam pertumbuhan fintech adalah mayoritas berasal dari Negara Australia dengan salah satu perusahaannya yakni Prospa Advance (Wibowo, 2016).
Industri financial technologi (fintech) merupakan salah satu metode layanan jasa keuangan yang mulai populer di era digital sekarang ini. Dan pembayaran digital menjadi salah satu sektor dalam industri FinTech yang paling berkembang di Indonesia. Sektor inilah yang kemudian paling diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang memiliki akses kepada layanan keuangan.
Prospa Advance sendiri merupakan salah satu online lender (pemberi pinjaman) bagi para pelaku bisnis atau UMKM yang ada di Australia. Dimana Prospa Advance memberikan banyak kemudahan kepada para pelaku bisnis untuk mendapatkan pinjaman yang berkisar antara $5000 dan $250.000 tanpa membutuhkan persyaratan atau keamanan. Aplikasi ini hanya membutuhkan waktu 10 menit sampai permohonan pengajuan dana disetujui dan akan cair dalam kurun waktu 24 jam.
Jumlah anggota terdaftar AFTECH (Asosiasi Fintech Indonesia) meningkat cukup pesat, dari 55 badan di tahun 2016, menjadi 109 di 2017, atau meningkat 98%. Konsumen Indonesia sudah semakin mengenal teknologi fintech. Ini ditunjukkan antara lain oleh respon survei, bahwa tahun 2017 ini 67.20% responden pernah mendengar istilah fintech, dibanding 2016 hanya 28.34% responden pernah mendengar istilah Fintech. Jumlah pengguna layanan fintech juga meningkat pesat. Pada 2016, hanya 18,06% responden yang mengaku pernah menggunakan layanan ini. Sedang pada 2017, persentase tersebut 81.54%.  Persentase terbesar di antara berbagai perusahaan fintech startups yang ditelusuri, bagian terbesar adalah tergolongkan dalam sub-kategori Online Lending (termasuk P2PLending), yaitu sebesar 26.2%. Layanan fintech di sektor pembayaran yang paling populer di kalangan konsumen Indonesia adalah Go-Pay, dengan 65.17% responden.
Industri jasa keuangan di ASEAN, mengalami perkembangan yang sangat cepat sebagai akibat dari perkembangan Teknologi Keuangan. FinTechs, merupakan penggabungan dari model bisnis inovatif dengan digital teknologi untuk memberikan layanan keuangan. Pada tahun 2017, investasi dalam bidang FinTechs di Indonesia mencapai US$26M. Hal tersebut meningkat 3,7 kali pada tahun sebelumnya (YoY). Sub Sektor yang paling banyak dikembangkan di Indonesia yakni Mobile payment, dan Alternative lending.
Indonesia, merupakan bagian dari wilayah Asia Tenggara, dengan perkiraan populasi lebih dari 260 juta orang, mayoritas di antaranya berusia di bawah 35 tahun dengan pertumbuhan gadget dan tingkat penetrasi internet yang sangat besar. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu sumber dari peluang Fintech yang harus disentuh. Perusahaan-perusahaan Fintech yang ingin berekspansi di Asia Tenggara akan lalai jika mereka mengabaikan perkembangan Fintech Indonesia sebagai pasar potensial. Dengan itu, melalu laporan Fintech Indonesia 2018 oleh Fintech Singapore diharapkan mampu mendapatkan hasil mengenai perkembangan fintech di Indonesia.
Menurut hasil survei Indonesia Fintech Landscape Report (Fintechnews.sg) Mei 2018, diproyeksikan pada tahun 2018 nilai transaksi padaFintech Marketterjadi sebesar USD $22,338 juta dengan rata-rata nilai transaksi yang diharapkan meningkat setiap tahunnya sebesar 16.3%. Dalam Indonesia Fintech Landscape Report dijelaskan bahwa kategori fintech terbesar di Indonesia adalah kategori Pembayaran sebesar 38% dan kategori Pinjaman sebesar 31%.
Peran dan Inisiatif Bank Indonesia Dalam Mendukung Fintech
Pemerintah Indonesia menggencarkan visi ekonomi digital Indonesia yang sejalan dengan program e-government pemerintah Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan juga telah menyiapkan 3 Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia yaitu, sebagai kontributif, mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua stabil, menjaga stabilitas sistem keuangan sebagai sistem landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga, inklusif, membuka akses keuangan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan kalangan masyarakat.
Payung hukum FinTech memakai Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan PBI (Peraturan Bank Indonesia) 18/40/PBI/2016 tanggal 14 November 2016 tentang penyelanggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (Djawahir, 2018:5). Dalam peraturan tersebut, OJK mengatur berbagai hal yang harus ditaati oleh penyelenggara bisnis pinjam dari pengguna ke pengguna, atau yang biasa disebut dengan peer to peer lending (P2P lending). Sehingga pada akhirnya ini akan melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta stabilits sistem keuangan.
Selain itu Bank Indonesia juga mengeluarkan Peratuan Bank Indonesia nomer 19/12/PB/2017 tentang penyelenggaraan financial technologi (PBI Tekfin) diterbitkan dengan pertimbangan sebagai berikut: a) perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi yang berkaitan dengan teknologi finansial b) perkembangan teknologi finansial disatu sisi membawa manfaat namundisisi lain memiliki potensi resiko c) ekosistem teknologi finansial perlu terus di monitor dan dikembang kan untuk mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman dan andal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif d) penyelenggaraan teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen resiko dan kehati-hatian. e) respons kebijakan bank indonesia terhadap perkembangan teknlogi finansial harus tetap sinkron, harmonis dan terintegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh bank indonesia. Ketentuan dalam peraturan bank indonesia ini berlaku pada penyelenggara teknologi finansial yang menyelenggarakan teknologi finansial di sistem pembayaran.
Perkembangan dan potensi yang begitu besar di ranah fintech tanah air membuat Bank Indonesia (BI), salah satu regulator keuangan di tanah air, mendirikan Fintech Office pada November 2016 lalu. BI Fintech Office dibentuk guna mengeluarkan aturan-aturan yang bertujuan mendorong pertumbuhan inovasi-inovasi baru, terutama yang berkaitan dengan teknologi dan sektor keuangan.
Pendirian BI Fintech Office sejalan dengan perkembangan industri fintech di Asia Tenggara yang sangat pesat pada tahun 2016. Tech in Asia mencatat bahwa pada semester kedua 2016 lalu, jumlah startup fintech di Asia Tenggara yang menerima investasi telah melampaui sektor e-commerce, walau secara nominal uang masih tetap lebih kecil.
Tujuan utama BI Fintech Office adalah mendorong inovasi dan perkembangan ekosistem fintech. Tapi di sisi lain, tugas BI juga melakukan mitigasi risiko dan melindungi konsumen.
Mitigasi risiko dan perlindungan konsumen memang merupakan salah satu fungsi Bank Indonesia terkait dengan sistem pembayaran. Konsumen beragam jasa pembayaran, termasuk yang diselenggarakan oleh industri fintech, harus mendapat kepastian hukum serta jalur untuk melaporkan masalah bila mengalami kerugian finansial dari layanan yang dipakainya.
Sebagai lembaga negara yang berwenang mengatur sistem pembayaran, fokus jangka pendek dari BI Fintech Office adalah mencermati dan mengatur industri fintech di bidang pembayaran, kliring, dan settlement. Namun, tak menutup kemungkinan pihaknya juga akan menelaah sektor industri fintech lain dalam jangka panjang, seperti P2P lendingcrowdsourcing, investasi, dan lain-lain.

Agar mampu menyusun regulasi yang sesuai dengan kondisi di lapangan, BI Fintech Office secara rutin menyelenggarakan pertemuan dengan berbagai pelaku fintech untuk melakukan pemetaan terhadap kondisi saat ini. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui siapa saja pelaku industri fintech, bisnis apa saja yang mereka jalani, seberapa besar skala bisnis tersebut, dan sebagainya. Pemetaan oleh BI Fintech Office diharapkan akan menghasilkan data dan informasi lengkap tentang ekosistem fintech di tanah air. Data tersebut dapat berfungsi untuk beragam analisis, mulai dampak industri fintech terhadap ekonomi secara umum, hingga stabilisasi keuangan.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat sering kali membuat regulasi yang tengah berlaku menjadi tidak relevan. Tidak jarang kendala seperti ini juga terjadi di ranah industri keuangan. Begitu ada produk inovatif, regulasinya belum sampai. Hal ini bisa menjadi penghambat dari perkembangan teknologi finansial. BI Fintech Office hendak mengeluarkan regulatory sandbox.
Pengaturan model sandbox ini dipelopori oleh Inggris dengan nama regulatory sandbox atau program uji coba bagi start-up FinTech. Maksud dari sandbox adalah agar para pelaku FinTech dapat menguji sistem dan bisnisnya dengan rentang waktu antara 6 bulan sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh. Dalam masa uji coba ini, perusahaan FinTech akan didampingi oleh pemerintah secara administrasi hukum dan operasional sistem, sehingga tidak ada aturan yang dilanggar oleh perusahaan FinTech. (Pratama, 2016).
Regulatory sandbox merupakan sebuah “ruang” khusus yang diperuntukkan bagi para inovator di industri fintech. Para pelaku yang memiliki produk inovatif, namun terkendala regulasi yang belum eksis untuk mengatur operasionalnya, dapat mendaftar ke dalam program ini.
BI Fintech Office akan mencermati spesifikasi produk, model usaha, hingga cakupan yang hendak menjadi bisnis dari perusahaan tersebut. Bila disetujui, pelaku usaha dapat beroperasi secara terbatas di bawah pengawasan BI tanpa harus khawatir tersandung masalah regulasi.
Pendaftaran masuk ke dalam regulatory sandbox nantinya bersifat kesukarelaan dari masing-masing pihak. Tak hanya startup, perusahaan besar pun bisa ikut mendaftar, Hanya saja, tak semua pendaftar akan dijamin bisa masuk ke dalam regulatory sandbox. Ada beberapa kriteria yang dapat membuatnya ditolak, seperti telah ada aturan resmi untuk jenis produk yang hendak dioperasikan, atau memang ada larangan tertentu.
Dengan keberadaan regulatory sandbox, BI memberikan kesempatan kepada para pelaku industri fintech yang memiliki produk inovatif untuk beroperasi dan mematangkan konsepnya dalam lingkup terbatas. BI akan memberikan sejumlah toleransi terkait regulasi yang dirasa berada di wilayah abu-abu, asalkan konsep ataupun produk yang tengah diuji telah disetujui BI Fintech Office sebelumnya.
Selain mendapatkan izin operasional, para peserta regulatory sandbox juga bisa memperoleh manfaat lain di luar keleluasaan regulasi. Hal ini juga bisa meningkatkan kepercayaan konsumen. Bila mereka melihat bahwa produk tersebut telah diawasi BI, maka mereka bisa merasa lebih aman untuk menggunakan produk tersebut.

KESIMPULAN
Untuk mendukung perkembangan fintech, BI juga telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia nomer 19/12/PB/2017 tentang penyelenggaraan financial technologi (PBI Tekfin). Strategi pengembangan ekonomi digital dan Fintech harus diarahkan pada strategi inklusif dan kreatif secara Bersama-sama untuk mendorong kapasitas dan kemampuan pemain lokal dalam kompetisi. Hal ini secara umum dilakukan, melalui dukungan infrastruktur, kebijakan, riset dan teknologi.
Bank Indonesia akan mengambil beberapa inisiatif. Pertama, mengimplementasikan aturan terkait Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP) yang berlaku bagi seluruh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), termasuk pelaku fintech. Kedua, untuk mendorong perkembangan fintech secara sehat, Bank Indonesia akan memastikan Fintech Office yang telah dibentuk pada 14 November 2016 dan fungsi regulatory sandbox dapat berjalan efektif dan produktif. Ketiga, Bank Indonesia juga akan mempercepat pembentukan lembaga yang akan mengoperasikan fungsi-fungsi pengelolaan National Standard of Indonesian Chip Card Specification (NSICCS) yang ditargetkan berdiri selambat-lambatnya 30 Juni 2017. Keempat, Bank Indonesia akan mengakselerasi National Payment Gateway (NPG). Kelima, Bank Indonesia akan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi keuangan di domestik, menempatkan data di domestik, menyimpan dana di perbankan nasional, menggunakan central bank money, dan mematuhi kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Alvin Abyan, Muhammad (2018). Konsep Penggunaan Financial Technology Dalam Membantu Masyarakat Sub-Urban di Indonesia Dalam Melakukan Transaksi Finansial. Universitas Indonesia: Jakarta.

Miraza, Bahctiar Hassan. (2014). Membangun Keuangan Inklusif, Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi, vol. 23, no 2.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PB/2017 tentang penyelenggaraan financial technologi (PBI Tekfin)

Santi, Ernama. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology ( Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 77/pojk.01/2016, diponegoro law journal, Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017

Wibowo, Budi. (2016). Analisa Regulasi Fintech Dalam Membangun Perekonomian di Indonesia, Jakarta, Indonesia

.








0 comments:

Post a Comment

Blogroll

loading...
 

Catatanku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang