Hakikat Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) sebenarnya telah dikemukakan oleh para ahli bahkan para
filsuf, baik filsuf Barat maupun Timur, termasuk filsuf Indonesia. Beberapa
ahli atau filsuf tersebut diantaranya adalah Pestalozzi, Froebel, Montessori,
Al-Ghazali, Ibn Sina, Ki Hajar Dewantara, Hasyim Asyarie, Ahmad Dahlan, dan
lain-lain. Penjelasan lebih detail mengenai pandangan para filsuf tersebut di
bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) akan dikemukakan pada bagian
tersendiri. Namun demikian sebagian gambar umum pandang mereka dapat dipetakan
menjadi dua perspektif. Kedua perspektif Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
menurut para filsuf tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,
perspektif pengalaman dan pelajaran. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah
stimulasi bagi masa yang penuh dengan kejadian penting dan unik yang meletakkan
dasar bagi seseorang di masa dewasa. Fernie, (1988) dalam Suryadi & Mauliya
Ulfah, (2015:16) meyakini bahwa pengalaman-pengalaman belajar awal tidak akan
pernah bisa diganti oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali
dimodifikasi.
Kedua, perspektif
hakikat belajar dan perkembangan. PAUD adalah suatu proses yang
berkesinambungan antara belajar dan perkembangan. Artinya, pengalaman belajar
dan perkembangan awal merupakan dasar bagi proses belajar dan perkembangan
selanjutnya. Menurut Ornstein (dalam Bateman, 1990:17) menyatakan bahwa anak
cukup dalam mengembangkan kedua belah otaknya (otak kanan dan otak kiri) akan
memperoleh kesiapan yang menyeluruh untuk belajar dengan sukses/berhasil pada
saat memasuki SD. Senada dengan Ornstein, Marcon, (1993), dalam Suryadi &
Mauliya Ulfah, (2015 : 17) menjelaskan bahwa kegagalan anak dalam belajar pada
awal akan menjadi tanda-tanda (predictor) bagi kegagalan belajar pada
kelas-kelas berikutnya. Begitu pula, kekeliruan belajar pada usia-usia
selanjutnya.
Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) pada hakikatnya ialah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan
untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau
menekankan pada pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Oleh karena ini,
PAUD memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kepribadian dan potensi
secara maksimal. Konsekuensinya, lembaga PAUD perlu menyediakan berbagai
kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan seperti:
kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik dan motorik.
Secara institusional,
pendidikan Anak Usia Dini juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah
pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik (halus dan kasar),
kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, (multiple intelligences) maupun
kecerdasan spiritual. Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan Anak Usia Dini,
penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini disesuaikan dengan tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh Anak Usia Dini itu sendiri.
Secara yuridis, istilah
anak usia dini di Indonesia ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan
usia enam tahun. Lebih lanjut pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Pendidikan anak usia dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan
yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan dengan memberi rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut”. Selanjutnya, pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan
bahwa “(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar. (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui
jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia
dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul
Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. (4) Pendidikan anak usia dini
pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman
Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia
dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Berbeda dengan
pengertian secara institusional maupun yuridis sebagaimana dikemukakan di atas,
Bredekamp dan Copple, (1997) dalam Suryadi & Mauliya Ulfah, (2015:18),
mengemukakan bahwa pendidikan anak usia dini mencakup berbagai program yang
melayani anak dari lahir sampai dengan usia delapan tahun yang dirancang untuk
meningkatkan perkembangan intelektual, sosial, emosi, bahasa dan fisik anak.
Pengertian ini diperkuat oleh dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) yang
menegaskan bahwa pendidikan bagi anak usia dini adalah pemberian upaya untuk
menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang
akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak.
0 comments:
Post a Comment